Puisi
Di bawah langit yang berbisik pelan, Aku, seorang lelaki dalam diam, Meniti jalan yang bukan milikku, Namun digariskan oleh mereka, guruku, orangtuaku.
Seperti sungai yang tunduk pada alirannya, Aku berserah pada nasib yang dipilihkan, Tak kutahu wajahmu, tak kudengar namamu, Namun langkahku menuju ke arahmu, Dipandu doa-doa yang tak kupahami.
"Engkau yang akan bersanding," Mereka berucap, suaranya seperti gemuruh petir dalam senyap, Aku diam, hatiku tak melawan, Sebab dalam kepatuhan, kutemukan keyakinan.
Bukan cinta yang memimpin langkah ini, Melainkan takdir yang ditata rapi, Dan aku, seorang lelaki dalam keheningan, Manut pada mereka, seperti awan pada langit, Melayang tanpa bertanya, tanpa menggugat.
Aku tak mengenalmu, Namun dalam setiap sujud, ada namamu yang kusebut, Meski asing di bibirku, meski asing di hatiku, Kupasrahkan rasa pada Sang Pemilik semesta.
Mungkin kau juga seorang yang tertunduk, Menantiku dalam sepi yang sama, Kita, dua jiwa yang tak saling tahu, Namun dibingkai oleh kehendak yang lebih besar dari kita.
Jika nanti kita bertemu, Mungkin bukan cinta yang pertama kali tersenyum, Namun ada harap dalam patuh kita, Bahwa takdir, meski tak selalu kita pahami, Adalah pintu menuju sesuatu yang tak terucap.
Dan aku, lelaki yang tak memilih jalan ini, Hanya berjalan dengan iman yang tetap, Sebab dalam patuhku, ada doa yang takkan pernah runtuh, Bahwa kau—entah siapa— Adalah jawaban yang telah dituliskan sebelum aku dilahirkan.